Pernikahan bukan paspor untuk memasuki kebahagiaan yang pasti, tetapi baru ikatan untuk melakukan perjalanan bersama.
Hubungan
batin yang mesra belum cukup menjadi jaminan kebahagiaan keluarga.
Cinta yang aktif dari masing-masing,cinta yang diusahakan secara sadar,
bertujuan rasional dan dipelihara oleh disiplin akan selalu menjadi
tuntutan untuk mewujudkan kedamaian dalam berkeluarga. Tak dapat
memungkiri bahwa pada saat saat tertentu bisa timbul juga semacam
kebosanan dan juga kelelahan. Namun, kalau penghayatan akan diri
masing-masing sudah mendalam, perasaan semacam itu pasti akan cepat
tersingkir. Saling menghargai berlipat-lipat lebih daripada di saat yang
paling romantis dalam pacaran membuat cinta tidak lagi merupakan
lambang akan tetapi menjadi sesuatu yang konkret dan menjadi kekuatan
dalam suatu pernikahan.
Satu
kenyataan lain yang masih banyak dialami oleh para pasangan suami istri
zaman sekarang adalah menafsirkan bahwa setelah berkeluarga tujuan
hidup yang utama adalah menjadi kaya. Dari sekian banyak alasan
yang yang dikemukakan , yang paling biasa adalah bahwa setelah
berkeluarga kita mesti menjadi realistis, tidak boleh idealistis lagi,
seperti pada saat muda dulu. Dan relisme itu diwujudkan dengan adanya
rumah, mobil,perabitan mewah,simpanan di bankdan lainnya. Dengan kata
lain suksesnya pernikahan ditentukan oleh harta benda yang dimiliki.
Sebagai
akibatnya hubungan suami dan istri kemudian lebih dititikiberatkan pada
sifat materialnya daripada sifat manusianya. Si suami merasakan bahwa
tugasnya itu “cari duit”. Istri dan anak-anak adalah orang yang
dipeliharanya, dan sejauh menyangkut rezeki keluarga mereka harus patuh
tanpa syarat. Atau sebaliknya, istri lah yang memberikan dorongan. Suami
dibujuk utuk meninggalkan profesi yang disukainya, dan pindah ke
pekerjaan yang lebih baik.
Sampai
batas tertentu masing-masing suami istri perlu berjuang untuk ekonomi
keluarga yang sehat. Namun mereka harus memiliki ukuran yang wajar
“seberpa cukupkah itu?” Terkadang mereka tidak bisa lagi merasa cukup .
Dan, kalau salah satu atau kedua-duanya diperbudak oleh nafsu memiliki
yang tak terpuaskan , maka bisa disebut sebegai gejala kematian. Bahtera
pernikahan tidak mengarah ke sebuah pulau yang damai, melainkan terbawa
arus yang tidak bisa diberhentikan dalam pencarian harta karun uang
suatu saat bisa karam.
Pernikahan
yang rasional dapat lebih mendekati cita-cita pribadi maisng-masing
dengan memiliki pengertian yang mendalam membuka pintu menuju
kebahagiaan. Bahkan seandainya mereka harus hidup sederhana untuk
cita-cita itu , mereka tidak usah merasa kecil. Kesederhanaan menjadi
hebat kalau didalamnya terdapat persatuan dua manusia yang hidupnya
bergairah. Sebaliknya, kemewahan menjadi tak berarti kalau keduanya
ternyata melewatkan hari-harinya sebegai robot ekonomi yang pasif, atau
tidak mampu lagi hidup secara penuh.
taken from : julius chandra- cinta rasional
No comments:
Post a Comment